Tikrar dalam Al-Qur’an
Untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Tafsir
Ijtima’i
Dosen : Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.
Di Susun Oleh :
Kelompok 11
·
Sahrul Latif 11140331000078
·
Nanda Khairu Hermina 11150340000112
·
Isnaeni 11150340000122
PROGRAM
STUDY ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur senantiasa kami panjatkan
kehadirat Allah Swt.sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Tafsir Ijtima’i mengenai Tikrar dalam Al-Qur’an. Shalawat dan salam semoga
selalu di limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang bagi
umatnya.
Makalah ini disusun dalam upaya memberikan kemudahan
untuk rekan-rekan mahasiswa mengikuti mata kuliah Tafsir Ijtima’i, agar lebih muda dalam
memahami materi kuliah yang selanjutnya bisa dengan mudah mencapai nilai yang
di inginkan.
Dalam proses penyusunan makalah, kami menyadari banyak
terdapat kekurangan, baik
segi materi maupun sistematika penulisannya. Untuk itu, kami siap menerima kritik
dan saran yang membangun untuk kami.
Jakarta, 12 Juni 2017
penulis
Kelompok 11
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab penyempurna
kitab-kitab sebelumnya, pedoman hidup manusia yang tidak pernah lekang oleh
zaman. Keindahan sistematika penulisan setiap katanya tidak ada satu makhluk
pun yang dapat menandinginya. Kata-kata Al-Qur’an menggambarkan kepada kita
bahwa I’jaz Al-Qur’an adalah sebuah bentuk rangkaian retorika yang sangat indah
dan akan mengalami revolusi pada tiap generasi.
Dari salah satu al-i’jaz yang terdapat
dalam al-Qur’an adalah pengulangan yang terjadi pada ayat-ayatnya atau yang
lebih dikenal dalam cabang ilmu Al-Qur’an al-tikrar. Hikmah dari pengulangan
ini antara lain adalah untuk penegasan dalam perkataan, keindahan dalam
berbahasa dan kecakapan dalam retorika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Untuk menciptakan kalimat-kalimat
yang efektif (yang bernilai balaghah), disamping dilakukan dengan uslub I’jaz
dan Qasr, dalam kondisi tertentu juga diperlukan uslub Tikrar. Yang dimaksud
tikrar disini adalah perulangan sebuah kata atau kelompok kata yang sama
persis.[1]
Definisi kata al-tikrar adalah
masdar dari kata kerja “ كرر“
yang merupakan rangkaian kata dari hurufر
- - ر ك. secara etimologi berarti mengulang atau mengembalikan sesuatu
berulangkali. Adapun menurut istilah al-tikrar berarti “ اعادة اللفظ او مرادفة لتقرير المعنى“ mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk menetapkan
(taqrir) makna. Selain itu, ada juga yang memaknai al-tikrar dengan “ ذكر الشي مرتين فصاعدا “
menyebutkan sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah
makna secara berulang. Sedangkan yang di maksud dengan al-tikrar dalam al-Qur’an adalah
pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam al-Qur’an dua kali atau lebih, baik
itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
Menurut
Ibnu Naqib ia mengartikan bahwa tikrar adalah
lafadz yang keluar dari seorang pembicara lalu mengulanginnya dengan lafadz
yang sama, baik lafadz yang di ulanginya tersebut semantic dengan lafadz yang
ia keluarkan ataupun tidak, atau ungkapan tersebut hanya dengan maknanya bukan
dengan lafadz yang sama.[2]
B.
Macam-Macam
Tikrar
1)
Tikrar
al Lafdzi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al Qur’an baik berupa
huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan ayatnya. Maksud pengulangan
pada jenis ini adalah, pengulangan yang ada pada satu tema. Seperti pengulangan
pada beberapa ayat yang berdekatan atau pada pembahasan yang sama di surat yang
berbeda, atau pada surat yang sama. Contohnya pengulangan pada Lafaz Jalalah
(Allah). Pada lafadz ini, pengulangan terjadi begitu
beragam, diantaranya, terulang lebih dari dua kali dalam satu ayat dan bahkan
tiga kali.[3]
Yang dibagi lagi menjadi tiga yaitu: [4]
1.
Contoh
pengulangan huruf
Pengulangan
huruf pada akhir beberapa QS. Al-Nazi’at
(79): 6-14:
يَوْمَ تَرْجُفُ ٱلرَّاجِفَةُ * تَتْبَعُهَا ٱلرَّادِفَةُ *
قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ* أَبْصَٰرُهَا خَٰشِعَةٌ * يَقُولُونَ أَءِنَّا
لَمَرْدُودُونَ فِى ٱلْحَافِرَةِ * أَءِذَا كُنَّا
عِظَٰمًا نَّخِرَةً * قَالُوا۟ تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ* فَإِنَّمَا
هِىَ زَجْرَةٌ وَٰحِدَةٌ * فَإِذَا هُم بِٱلسَّاهِرَةِ *
“(Sesungguhnya
kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam. tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. Hati manusia pada waktu itu sangat takut. Pandangannya tunduk. (Orang-orang
kafir) berkata: "Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada
kehidupan semula?. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi
tulang belulang yang hancur lumat?. Mereka
berkata: "Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan. Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja. maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan
bumi.” (An-Nazi’at 79: 6-14)
2. Contoh
pengulangan kata, dapat dilihat pada QS. Al-Fajr (89): 21-22:
كَلا
إِذَا دُكَّتِ الأرْضُ دَكًّا دَكًّا * وَتُحِبُّونَ
الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Jangan
(berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajr 89:21-22)
3.
Contoh
pengulangan ayat terdapat pada QS. Al-Rahman (55): 13:
فَبِأَيِّ
آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman 55: 13)
Ayat
tersebut berulang kurang lebih 30 kali dalam surah tersebut.
2)
tikrar
al-ma’nawia, yaitu pengulangan redaksi ayat di dlam al-Qur’an yang
pengulangannya lebih dititikberatkan kepada makna atau maksud dan tujuan
pengulangan tersebut. Sebagai contoh QS. Al-Baqarah (2): 238:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ
الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah 2:238)
Al-Shalat
al-wustha yang disebut dalam ayat di atas adalah
pengulangan makna dari kata al-shalawat
sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai
penekan atas perintah pemeliharaannya.[5]
3)
Tikrar
(al-Numt al-nahwi) yaitu, pengulangan pada jenis ini, lebih
kepada keindahan alunan musik yang ditimbulkan, bukan pada berapa kali
diulangnya suatu kalimat. Pengulangan jenis ini menguatkan estetika al-Qur`an,
sehingga jiwa pun akan terus rindu untuk mentadaburinya, sebagaimana pengulangan
pada jenis ini juga membantu seseorang untuk mengahafal ayat-ayat tersebut
dengan mudah. Jenis pengulangan ini sering kita dapatkan pada surat-surat
makiyah, yaitu surat-surat yang turun sebelum hijrah nabi ke Madinah. Salah
satu cirri surat-surat Makiyah antara lain, yang potongan-potongan ayat dan
juga keseluruhan berukuran pendek.[6]
Sedangkan, menurut Prof. Dr. D. Hidayat,
dari segi struktur tikrar dapat dikategorikan kepada tiga model perulangan,
yaitu (1) perulangan bersambung, (2) perulangan tidak bersambung, dan (3)
perulangan terpisahkan.
1.
Tikrar
bersambungan, yang dihubungkan oleh (huruf athaf), atau oleh kata tanya (adamul istifham), ada pula yang tidak dihubungkan sama sekali, seperti
pada ayat berikut:
الْحَاقَّةُ * مَا الْحَاقَّةُ * وَما أَدْراكَ مَا الْحَاقَّةُ * كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ
بِالْقَارِعَةِ
“Hari kiamat. apakah hari kiamat itu?. Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?. Kaum Tsamud dan 'Aad telah mendustakan hari kiamat.
(Al-Haqqah 69: 1-4)
الْقَارِعَةُ * مَا
الْقَارِعَةُ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ * يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ
كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ
*
“Hari Kiamat. apakah hari Kiamat itu?. Tahukah
kamu apakah hari Kiamat itu?. Pada hari itu manusia
adalah seperti anai-anai yang bertebaran,” (Al-Qari'ah
101: 1-4)
ثُمَّ ذَهَبَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ يَتَمَطَّىٰٓ
* أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَىٰ * ثُمَّ أَوْلَىٰ لَكَ
فَأَوْلَىٰٓ *
“kemudian
ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah
bagimu. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan
kecelakaanlah bagimu.” (Al-Qiyamah 75: 33-35)
عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ * عَنِ ٱلنَّبَإِ ٱلْعَظِيمِ * ٱلَّذِى هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ *
كَلَّا سَيَعْلَمُونَ * ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ *
“Tentang apakah mereka
saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar. yang
mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali
tidak; kelak mereka akan mengetahui. kemudian
sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui.”
(An-Naba’ 78: 1-5)
أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ * حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ *
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ *
“Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke dalam kubur. anganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu). dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (At-Takasur 102:1-4)
Pengulangan
dalam ayat-ayat diatas semuanya tampak bersambungan yang dihubungkan dengan
satu penghubung atau lebih yaitu:
{ ثم/
ف / وَاوُ الْعَطْفِ/ مَا الاِ
سْتِفْهَامِيَّة }
Atau tanpa penghubung, yaitu pada ayat (6)
-
Pada ayat (1), terdapat tiga kali perulangan kata (الْحَاقَّةُ), dimaksudkan
sebagai penegasan akan datangnya hari kiamat yang diingkari oleh kaum ‘Ad dan
kaum Tsamud.
-
Pada ayat (2), tiga kali perulangan kata (الْقَارِعَةُ) dimaksudkan
sebagai penegasan akan datangnya hari kiamat yang dahsyat.
-
Pada ayat (3), empat kali kata (أَوْلَىٰ) sebagai penegasan atas kutukan terhadap orang kafir,
-
Pada ayat (4), dua kali perulangan kalimat (كَلَّا
سَيَعْلَمُونَ) sebagai
penegasan datangnya hari kiamat sekaligus sanggahan kepada orang-orang kafir
Mekah yang mengigkarinya.
-
Pada ayat (5) dua kalimat (كَلَّا
سَوْفَ تَعْلَمُونَ) sebagai
penegasan akan akibat (siksaan) di akhirat akibat perilaku mereka yang suka
bermegah—megahan dengan banyak harta.
2. Tikrar tidak bersambung, contohnya sebagai berikut,
لِّلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ وَإِن
تُبْدُوا۟ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ ٱللَّهُ ۖ
فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ
شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau
kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah 2:284)
وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ ۚ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ
فَإِنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ
“Dan taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(At-Tagabun 64:12)
Perulangan
maushul (مَا) tidak bersambungan, karena terpisah oleh
silah maushul masing-masing. Juga perulangan kata (وَأَطِيعُوا۟), terpisah oleh objek (maf’ul bih), memang melihat konteks
kalimat setelahnya, kata (مَا) dan kata (وَأَطِيعُوا) perlu mendapat perulangan. Jika tidak, maka teks ayat akan
kehilangan nilai balaghah perulangan.
Sementara
itu dalam al-Qur’an terdapat takrar kalimat yang terletak berjauhan satu sama
lain dalam satu surat, seperti pada ayat berikut:
فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat
Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman 55:77)
(31 kali perulangan di
antara 78 jumlah ayat seluruhnya)
Perulangan
kalimat (فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا
تُكَذِّبَانِ) sebanyak 31
kali dalam surat ar-Rahman dapat dipahami sebagai penegasan dalam mengingatkan
manusia akan pentingnya bersyukur (tidak ingkar) kepada Tuhan yang telah
memberikan berbagai nikmat tak terhingga yang disebutkan secara terperinci
nikmat demi nikmat yang masing-masing di susul oleh pertanyaan : (فَبِأَىِّ
ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ).
3. Tikrar (perulangan) unsur pertama suatu jumlah
Unsur
pertama diulang jika jumlah atau kalimatnya terlalu panjang sehingga jika tidak
diulang maka kesatuan gagasan dalam kalimat itu menjadi tidak jelas atau kabur.
Contoh:
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا۟ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ
تَابُوا۟ مِنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوٓا۟ إِنَّ رَبَّكَ مِنۢ بَعْدِهَا
لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Kemudian,
sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan
karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
(dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (An-Nahl 16:119)
Perhatikan
jika kata (رَبَّكَ) sebagai ( مبتدأ) atau sebagai (
اسم إنّ). Tidak diulang, maka kesatuan atau hubungannya dengan (خبر) yaitu kata (لَغَفُورٌ
رَّحِيمٌ) bisa menjadi
tidak jelas atau kabur, (مبتدأ - خبر )
tersebut dipisahkan oleh kata-kata tambahan yang banyak. [7]
C. Fungsi Tikrar
Dalam bukunya al Itqan Fi ‘Ulum al Qur’an,imam as
Suyuthi menjelaskan fungsi dari penggunaan tikrar dalam al-Qur’an. Diantara
fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebagai taqrir (penetapan)
Dikatakan, ucapan jika terulang berfungsi menetapkan.
Diketahui bahwa Allah telah memperingatkan manusia dengan mengulang-ulang kisah
nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji dan ancaman. Maka
pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.
Ini sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikrar
bahwa setiap perkataan yang terulang merupakan tiqrar (ketetapan) atas hal
tersebut. sebagai contoh Allah berfirman surah. Al-An‘am ayat 19
“Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada
tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak
mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa
dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan
Allah)”.
Pengulangan jawaban dalam ayat tersebut merupakan
penetapan kebenaran tidak adanya Tuhan (sekutu) selain Allah.
b. Sebagai Ta’kid (penegasan) dan menuntut
perhatian lebih.
Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan
atau penekanan, bahkan menurut imam as Suyuthi penekanan dengan menggunakan pola
tikrar setingkat lebih kuat disbanding dengan bentuk ta’kid.5 Hal ini karena
tikrar terkadang mengulang lafal yang sama, sehingga makna yang dimaksud lebih
mengena. Selain itu, Agar pembicaraan seseorang dapat diperhatikan secara
maksimal maka dipakailah pengulangan tikrar agar si obyek yang ditemani
berbicara memberikan perhatian lebih atas pembicaraan tadi. Contohnya, Allah
berfirman dalam surah Al-Mu’min ayat 38-39 :
وَقَالَ ٱلَّذِىٓ ءَامَنَ يَٰقَوْمِ ٱتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ
ٱلرَّشَادِ * يَٰقَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ
ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ
“Orang
yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Al-Mu’min 40: 38-39).
Pengulangan/ Tikrar pada kedua ayat diatas yang
maknanya saling berkaitan, berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat
peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.
c. Pembaruan terhadap penyampaian yang telah
lalu
Jika ditakutkan poin-poin yang ingin disampaikan
hilang atau dilupakan akibat terlalu panjang dan lebarnya pembicaraan yang
berlalu maka, diulangilah untuk kedua kalinya guna menyegarkan kembali ingatan
para pendengar. Sebagai contoh, dalam alQur’an Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 89:
وَلَمَّا جَآءَهُمْ كِتَٰبٌ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا۟ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُوا۟ كَفَرُوا۟ بِهِۦ ۚ فَلَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ
“Dan setelah
datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah 2:89)
Pengulangan / Tikrar pada ayat diatas untuk
mengingatkan atau mengembalikan bahasan pada inti pembicaraan yang sebelumnya
terpisah oleh penjelasan lain.
d. Sebagai ta‘zhim (menggambarkan agung dan
besarnya satu perkara).
Mengenai hal ini, telah dipaparkan dalam kaidah bahwa
salah satu fungsi dari tikrar atau pengulangan adalah untuk menggambarkan
besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat dalam
surah al Qari’ah ayat 1-3:
الْقَارِعَةُ * مَا
الْقَارِعَةُ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ *
“Hari Kiamat. apakah hari Kiamat itu?. Tahukah
kamu apakah hari Kiamat itu?",” (Al-Qari'ah
101: 1-3)
D. Tikrar: Analisis
Atas Surah Al-Fajr
Surah Al-Fajr adalah surah ke- 89 di dalam
Al-Qur’an. surat ini turun di Mekkah sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke
Madinah. Namanya adalah “al-Fajr”, tanpa “wau”, sedikit berbeda
dengan bunyi ayatnya yang pertama. Penamaan ini di sepakati juga oleh para
penulis mushaf. Tidak ada nama lain bagi kumpulan ayat-ayat ini kecuali nama
tersebut.
Tema utama surah ini adalah ancaman kepada
kaum musyrik Mekkah dan masyarakat manapun yang durhaka, jangan sampai
mengalami kesudahan seperti yang telah di alami oleh para pendurhaka masa
lampau yang jauh lebih perkasa daripada mereka, yaitu kaum ‘Ad, Tsamud, dan
Fir’aun. Surah ini juga menguraikan kekeliruan sementara orang yang menduga
bahwa kekayaan adalah bukti cinta Allah dan kemiskinan adalah tanda murka-Nya.
Dalam surah ini juga menggambarkan peristiwa yang akan terjadi pada hari
kemudian dimana tampak dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya serta kasih
sayang-Nya kepada yang taat dan murka-Nya kepada yang durhaka.[8]
Dalam hal ini tikrar
yang digunakan berupa tikrar al-Lafdzi, yaitu berupa pengulangan redaksi ayat
di dalam al-Qur’an yang berupa pengulangan kata.[9]
Tulisan ini akan lebih memfokuskan penekanan pengulangan kata pada surah
al-Fajr ayat 21-22. Kita melihat ada kata yang diulang-ulang yaitu) كَلَّآ
إِذَا دُكَّتِ ٱلْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا dan . ( وَجَآءَ
رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Tujuan pengulangan
kata ini untuk mengukuhkan hati Nabi SAW. dan kaum Muslim yang tertindas sambil
meyakinkan tentang keniscayaan balasan dan ganjaran yang akan diterima oleh
masing-masing.
Adapun intisari
kandungan ayat yang terdapat dalam al-Qur’an surah al-Fajr ayat 21-22 ini
adalah sikap manusia yang durhaka terhadap dunia secara umum dan harta benda
secara khusus, mereka menduga itulah jalan kebahagiaan. Ayat 21 menafikan
dugaan tersebut dengan menyatakan: Wahai manusia, tidak demikian! Atau ayat itu
memperingatkan mereka bahwa: Jangan berbuat demikian, karena yang demikian dapat
mencelakakan kamu. Lalu mereka diingatkan tentang masa yang pasti bagi
kecelakaan mereka, yaitu bila bumi dengan mudah di hantamkan berturut-turut
dengan hantaman yang besar sehingga meluluhkan segala sesuatu. Sedangkan ayat
22 menyatakan bahwa ketika itu juga datanglah Tuhan pemeliharamu wahai Nabi
Muhammad atau wahai manusia dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan
kesuciannya, atau hadirlah ketetapan-Nya
serta tampaklah dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya. Sedang para malaikat
berbaris-baris sesuai dengan kedudukan dan tugasnya masing-masing.
Ibrah dalam hal ini, Pertama,
sumber kebahagiaan bukanlah harta, dan hidup yang sebenarnya adalah hidup
di akhirat. Karena itu, yang menyesal di hari kemudian akan menyadari bahwa apa
yang dilakukannya selama di dunia bukanlah untuk kehidupannya. Kedua, pada
hari kiamat, keagungan dan kebesaran Allah akan hadir dan terlihat dengan
jelas; malaikat-malaikat juga terlihat berbaris bershaf-shaf dan neraka di
dekatkan sehingga ia terlihat juga, khususnya oleh para pendurhaka. Ketiga,
mereka yang taat saat kematian atau ketika bangkai dari kuburnya akan merasa
tenang bertemu Allah di sambut oleh-Nya dengan sapaan mesra lalu di persilahkan
masuk ke surga. Itu disebabkan jiwa mereka tenang karena ketika mereka hidup di
dunia, merek banyak mengingat Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tikrar adalah salah satu bentuk
i’jaz dalam al-Quran yang berfungsi sebagai penegasan sebuah ayat atau kalimat
dengan cara pengulangan redaksi ayatnya, huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi
kalimat dan ayatnya. Adapun macam-macamnya, tikrar dibagi menjadi dua yaitu
tikrar al-lafdzia dan tikrar al-ma’nawia, dan dari
segi struktur tikrar dapat dikategorikan kepada tiga model perulangan yaitu, (1) perulangan
bersambung, (2) perulangan tidak bersambung, dan (3) perulangan terpisahkan.
Fungsi tikrar yaitu sebagai takrir
(penguat), ta’kid (penegasan), pembaruan terhadap yang telah lalu, dan sebagai
ta‘zhim (menggambarkan agung dan besarnya satu perkara).
Daftar Pustaka
Hidayat,
D, Al-Balaghah lil-Jami’ Wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah
untuk Semua), Jakarta: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani
Jakarta, 2002.
Said, Hasani Ahmad, Studi Islam I: Kajian Islam Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Sayyid
Khidr, Al-Tikrar al Uslubi fi
al-Lugah al-Arabiyah ( Daru al-Wafa, 2003)
Shihab,
M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,,
Jakarta: Lentera Hati, 2009, Jil. I, Cet. II.
Shihab, M. Quraish, Al-Lubab; Makna,
Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2012
[1] D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ Wasy-Syawahid min
Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk Semua), (Jakarta: PT. Karya Toha Putra
& Bina Masyarakat Qur’ani Jakarta) hal. 97
[2] Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1: Kajian
Islam Kontemporer (Jakarta: PT Rajawali Pers,, 2016), hlm. 280.
[3] Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1: Kajian
Islam Kontemporer (Jakarta: PT Rajawali Pers,, 2016), hlm. 280.
[4] Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1: Kajian
Islam Kontemporer (Jakarta: PT Rajawali Pers,, 2016), hlm. 282.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Jil. I, Cet. II, hal. 626-627
[6] Dr. Sayyid Khidr, Al-Tikrar
al Uslubi fi al-Lugah al-Arabiyah ( Daru al-Wafa, 2003) hlm.114
[7] D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ Wasy-Syawahid min
Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk Semua), (Jakarta: PT. Karya Toha Putra
& Bina Masyarakat Qur’ani Jakarta) hal. 101
[8] M. Quraish Shihab, Al-Lubab:
Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera
Hati), hal. 634
[9] Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1: Kajian
Islam Kontemporer (Jakarta: PT Rajawali Pers,, 2016), hlm. 282
Free Spins at Harrah's Hotel & Casino, Atlantic City
BalasHapus› › › Atlantic City Hotels › › Atlantic City Hotels 1. Harrah's Atlantic luckyclub City, NJ 2. Atlantic City Hotel & Casino. Atlantic City Hotel & Casino. Atlantic City Hotel & Casino. Atlantic City Hotel & Casino.